Selasa, 04 Januari 2011

Keadaan Gunung Kidul pada Masa Lalu dan Dewasa ini

Gunung Kidul merupakan sebuah kawasan yang terletak di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan sejak 700 ribu tahun yang lalu Gunung Kidul merupakan tempat tinggal manusia purba. Manusia purba yang tinggal di Gunung Kidul diperkirakan berasal dari daerah Pacitan, Jawa Timur. Mereka bermigrasi ke Gunung Kidul melewati lembah-lembah karst Wonogiri (Jawa Tengah) melalui Jalur Sungai Bengawan Solo Purba.

Jalur Sungai Bengawan Solo Purba yang telah mengering setelah mengalami tiga kali pengangkatan pada jutaan tahun yang lalu menjadi jalan masuk menuju kawasan Gunung Kidul. Anak-anak sungainya dijadikan jalan masuk menuju Gua-Gua hunian di daerah pedalaman.

Banyak ditemukan Gua-Gua karst yang tersebar di seluruh wilayah Gunung Kidul. Dari sekitar 460 Gua, hampir dari setengahnya pernah di huni oleh manusia purba. Hal tersebut didasari pada penemuan tulang tengkorak dan kerangka manusia yang ada di Gua Tritis dan Gua Braholo, yang terletak di kecamatan Tanjungsari, yang diperkirakan berusia 9.000 tahun.

Selain ditemukannya tulang tengkorak dan kerangka manusia purba di berbagai Gua yang ada di Gunung Kidul, di bagian muka Gua tersebut juga ditemukan fosil sisa-sisa makanan seperti kerang laut, landak laut, kura-kura laut, dan berbagai tulang binatang mamalia seperti tulang rusa dan sapi.

Dilihat dari banyaknya peninggalan yang ada di Gunung Kidul membuktikan bahwa pada saat itu Gunung Kidul merupakan daerah yang kaya akan bahan makanan, sumber air yang melimpah, dan berbagai jenis tanaman sehingga dijadikan tempat hunian oleh manusia purba. Selain itu Gua-Gua yang dijadikan tempat tinggal memberikan kenyaman dan keamanan dari ancaman yang ada di lingkungan sekitar.

Hal itu diperkuat oleh pernyataan ahli biologi yang melakukan penelitian di Gunung Kidul pada tahun 1830-an, ia menulis Gunung Kidul 200 tahun yang lalu, benar-benar Gunung Sewu ini seperti taman Firdaus. Vegetasinya serba hijau nan lebat; keindahan alamnya tidak mampu saya lukiskan dengan kata-kata; hutannya yang berisi segala macam pepohonan dan di mana-mana saya jumpai akasia berlatar belakang langit biru yang indah...(Darmaningtyas, 2002).

Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan kondisi Gunung Kidul saat ini. Gunung Kidul saat ini merupa dataran karst yang kering dan tandus. Hal tersebut terjadi karena adanya pertemuan antara lempeng australia dan eurasia karena masa jenis lempeng australia lebih berat maka lempeng eurasia menjadi terangkat ke permukaan. Dan proses tersebut mengakibatkan pengangkatan daerah perairan laut dalam yang penuh dengan terumbu karang dan koral yang lambat laun membentuk karst gunung sewu. Pengangkatan yang tidak diimbangi penggerusan oleh arus Sungai Bengawan Solo Purba tersebut menyebabkan sungai tersebut terbendung dan membuat cekungan baturetno. Dan aliran Bengawan Solo menemukan jalan keluar daerah yang lebih rendah kearah utara menuju Laut Jawa melewati jalur lipatan Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Rembang. Proses tektonik berupa pengangkatan di Jawa bagian utara sehingga membentuk jalur lipatan tersebut diimbangi oleh daya gerus Bengawan Solo yang berlangsung sampai sekarang.

Selain itu air yang menggenangi daerah di Yogyakrata mulai surut dan berubah menjadi daratan. Sehingga air tanah yang tadinya memberikan sumber mata air di Gunung Kidul pun menurun yang mengakibatkan kawasan Gunung Kidul menjadi daerah yang kering dan tandus karena kurangnya sumber air tanah.

Sejak awal penghunian 12.000 tahun yang lalu hingga jaman modern saat ini, masyarakat Gunung Kidul agaknya tidak banyak mengalami perubahan. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sebagai kaum pengembara rupanya menjadi identitas masyarakat Gunung Kidul. Bahkan ketika alam tak lagi mendukung, daya adaptasilah yang menghasilkan kelompok manusia itu menyebar di bukit-bukit karst yang tandus.

Bakat tersebut melekat sejak kedatangan manusia pertama di Gunung Kidul, yaitu ras australomelanesid yang bermigrasi dari Pacitan (Jawa Timur), melewati lembah-lembah karst Wonogiri (Jawa Tengah) hingga mencapai pesisir pantai selatan Gunung Kidul melalui jalur Sungai Bengawan Solo Purba.

Meskipun masyarakat Gunung Kidul mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang mendukung namun dewasa ini banyak masyarakatnya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang mampu menopang kehidupan mereka, hal tersebut di karenakan di Gunung Kidul masyarakatnya hanya mengandalkan perekonomian mereka melalui hasil pertanian. Hingga saat ini industri belum mampu berkembang di Gunung Kidul salah satu kendalanya adalah minimnya sarana dan prasarana serta susahnya medan pendistribusian dari kota ke daerah Gunung Kidul.

Dewasa ini pariwisata Gunung Kidul mulai di kembangkan oleh pemerintah daerah setempat. Hal tersebut dilakukan karena Gunung Kidul memiliki potensi wisata yang sangat menarik baik wisata alam, pantai maupun wisata sejarah.

Banyak pantai-pantai indah yang terdapat di Gunung Kidul antara lain, Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Kukup, Pantai Sadeng, Pantai Wedi Ombo, dan masih banyak lagi pantai-pantai menarik yang ada di Gunung Kidul. Yang tentunya menjadi daya tarik daerah ini dan dapat membangun perekonomian masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Kawasan baru yang ingin di kembangkan menjadi tujuan wisata oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Gunung Kidul adalah wisata alam bekas muara Bengawan Solo Purba yang berada di kecamatan Girisubo. Jalur aliran Bengawan Solo pada zaman itu akhirnya tinggal jejak karena tidak ada air yang mengalirinya. Wilayah itu menjadi kaya bukit-bukit karst yang menurut beberapa peneliti semula merupakan karang yang berada di bawah laut.

Bekas jalur muara Bengawan Solo tersebut memiliki pemandangan alam yang indah sehingga akan dikembangkan menjadi objek wisata. Bekas aliran sungai tersebut saat ini menjadi objek wisata yang menarik. Wilayah tersebut menjadi jejak geologi yang berharga karena bekas aliran Bengawan Solo Purba masih tampak jelas. Pemandangan tersebut dapat dilihat di sepanjang jalan menuju Pantai Sadeng, wisatawan dapat menikmati keindahan bekas aliran sungai Bengawan Solo Purba yang berukuran raksasa.

Seperti kita ketahui bahwa kawasan Gunung Kidul merupakan daerah yang kering dan tandus. Meskipun industri pariwisata mulai dikembangkan di daerah itu namun hal tersebut belum cukup untuk membantu kehidupan masyarakat Gunung Kidul. Hal lain yang lebih berharga dari pertumbuhan ekonomi di daerah Gunung Kidul merupakan ketersediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi warga sekitar.

Air merupakan sember kehidupan maka tidak berlebihan jika air merupakan kebutuhan utama bagi semua makhluk hidup begitu juga dengan masyarakat Gunung Kidul. Bahkan masyarakat Gunung Kidul lebih menyukai jaringan distribusi air dapat berkembang ke pedesaan daripada jaringan listrik. Namun dewasa ini di kawasan Gunung Kidul banyak ditemukan sungai bawah tanah yang mampu memenuhi kebutuhan air di Gunung Kidul.

Sungai bawah tanah tersebut antara lain terdapat di sistem Gua Bribin-Baron, Gua Jomblang di desa Karangasem, kecamatan Ponjong, dan diperkirakan masih banyak lagi sistem-sistem pengairan seperti itu yang bertebaran di kawasan Gunung Kidul. Dari sistem air tanah yang ada di Gua Bribin-Baron saja, ada 5.684 liter per detik. Jika saja 1 liter perdetik mampu mencukupi kebutuhan 1000 orang perhari, maka dari sistem Bribin-Baron saja cukup untuk memenuhi kebutuhan air 5 juta jiwa. (Bambang Soenarto, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Sumber Daya Air, Bandung).

Dari beberapa gambaran tersebut tentunya dapat dilihat kondisi Gunung Kidul pada saat ini. Meskipun Gunung Kidul merupakan daerah karst yang tandus namun kawasan tersebut ternyata menyimpan sumber air tanah yang cukup banyak bila dikembangkan secara maksimal. Selain itu industri pariwisata juga mulai berkembang, tentunya hal tersebut mampu menopang perekonomian masyarakat sekitar selain mengandalkan perekonomian dari sistem pertanian. Dan semoga kehidupan masyarakat Gunung Kidul semakin maju seperti daerah lain yang ada di Yogyakarta.

Persebaran Manusia Purba di Gunung Kidul

Telah diketahi bahwa nenek moyang persebaran manusia di Indonesia adalah ras Austronesia yang bermigrasi hinga sampai di Indonesia termasuk di kawasan Gunung Kidul. Selama berpuluh-puluh tahun petunjuk dalam penelitian persebaran manusia purba adalah fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggal dalam penggembaraan mereka. Sejak 700 ribu tahun lalu Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, telah menjadi kompleks hunian manusia purba. Mereka tinggal di ceruk dan goa di wilayah perbukitan karst (kapur) ketika mayoritas daerah lain di Yogyakarta masih berupa perairan atau Zaman Interglasial (Habib Mustopo, 2006).

Kehidupan manusia pada masa prasejarah tergantung pada lingkungan dan penguasaan teknologi. Sumber-sumber subsistensi dari lingkungan ditambah dengan penguasaan teknologi pada masa itu, mengakibatkan pola kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Selain itu, manusia juga memanfaatkan bentukan alam untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, gua dan ceruk menjadi salah satu alternatif tempat tinggal bagi manusia pada masa prasejarah (Nurani,1999).

Kawasan Gunung Kidul merupakan daerah yang bercirikan ribuan bukit karst yang menampilkan sejarah kehidupan manusia, setidaknya sejak kala Pleistosen Akhir hingga Holosen AwalBerdasarkan informasi dari  Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) diketahui bahwa telah banyak manusia purba yang menghuni ceruk atau gua di daerah karst Gunung Kidul. Lebih dari empat puluh gua atau song di Gunung Kidul di yakini pernah dihuni oleh manusia purba. Song Bentar berada di mulut sebuah ceruk di Dusun Bentar, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, letaknya ada di puncak perbukitan karst. Song merupakan sebutan penduduk setempat untuk menamakan sebuah ceruk atau gua. 

Song Bentar nampaknya memang pantas di jadikan sebagai tempat hunian karena sirkulasi udara yang bagus dan pencahayaannya yang redup. Didalamnya terdapat ornament alam yang indah yakni adanya stalaktit kapur yang berwarna putih menggantung di sisi atas gua. Hasil dari penggalian yang dilakukan oleh arkeolog yang melibatkan warga sekitar adalah ditemukannya beberapa fosil manusia purba dan artefak-artefak.

Setelah diteliti lebih lanjut oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta maka disimpulkan bahwa di Song Bentar terdapat fragmen tengkorak dan tulang manusia purba Homo sapiens. Setidaknya ada delapan individu, terdiri dari lima dewasa, dua anak-anak, dan satu bayi. Sedangkan artefak yang ditemuakan adalah beberapa alat batu, seperti batu giling, beliung persegi, dan mata panah pun banyak dijumpai di lokasi ini.Di Dusun Kanigoro, Desa Tambakromo, masih di Kecamatan Ponjong, terdapat hunian manusia purba lain, yaitu Song Blendrong. Di Song Blendrong di temukan tulang belulang manusia purba serta peralatan yang mereka gunakan seperti peralatan dari batu, tanduk, maupun serut dari kerang berserakan di lantai ceruk. Namun akibat dari penambangan fosfat yang dilakukan di goa ini banyak peninggalan kepurbakalaan yang rusak bahkan musnah.

Gua Seropan di Dusun Semuluh, Desa Gombang, Kecamatan Semanu. Goa dengan aliran sungai bawah tanah. Gua Seropan itu tersingkap setelah terjadi banjir besar dari sungai bawah tanah, tersingkap pula fosil manusia purba dan tulang, gigi, serta rusuk dari hewan mamalia purba. Namun sampai saat ini belum diketahui jenis mnusia purba serta mamalia apakah yang mendiami Goa Seropan karena belum diteliti lebih lanjut.

Song Tritis merupakan salah satu gua yang terdapat di wilayah Gunungkidul, tepatnya di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop. Temuan situs Song Tritis sangat kompleks antara lain terdiri atas batu inti, serpih bilah, serut, kapak penetak, kapak perimbas, serut dari cangkang moluska, lancipan tulang, pecahan tembikar. Sebuah rangka manusia relatif utuh berciri ras Mongoloid dari individu wanita dewasa ditemukan di lapisan atas dalam posisi penguburan primer terlipat, yang menyatu dengan himpunan alat litik, alat tulang, dan pecahan-pecahan tulang monyet. Monyet merupakan hewan faforit kala itu.Endapan abu bekas perapian di bagian tengah gua setebal lebih dari 1.5 meter merupakan bukti aktivitas memasak mereka. Di lapisan bagian atas ditemukan sisa-sisa tembikar yang bercampur secara erat dengan alat-alat batu dan tulang, yang membuktikan bahwa kedua jenis alat yang terakhir tersebut tetap dipertahankan produksi dan pemakaiannya, di saat gerabah mulai muncul dan berperan dalam aktivitas sehari-hari di gua ini.

Gua broholo yang terletak di Karangmojo, Gunung Kidul juga menyimpan banyak sumber mengenai manusia purba. Di gua itu ditemukan 10 fosil manusia purb yang relative dalam keadaan utuh. Diketemukan pula alat-alat serpih atau flake, mata panah kapak batu. Dari temuan alat-alat tersebut maka para ahli menyimpulkan bahwa gua atau song tersebut dihuni pada masa Phaleolhitikum.

Pada zaman yang lebih maju lagi yaitu ada zaman megalhitikum di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul terdapat situs Sokoliman. Situs ini menyimpan peninggalan pra sejarah berupa kubur batu, manik-manik serta gerabah (terakota).

Zaman Logam Gunung Kidul

Di indonesia tidak semua wilayahnya mengalami pembabakan jaman logam. Hanya ada beberapa wilayah, salah satunya di Gunung Kidul. Zaman logam di Gunung Kidul berlangsung bersamaan dengan zaman megalithikum muda. Hasil-hasil kebudayaan zaman logam di Gunung kidul banya ditemukan bersamaan dengan penemuan kubur peti batu di sokoliman. Hasil kebudayaan zaman logam dijadikan sebagai bekal kubur bersamaan dengan tembikar dan alat-alat dari batu dan tulang. Pada dasarnya alat logam yang dibuat manusia kala itu terbagi menjadi dua, yaitu bersifat profane dan bersifat sacral. Alat-alat yang bersifat provan merupakan alat-alat yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari, seperti berburu dan meramu makanan. Sedangkan alat-alat yang bersifat sacral biasanya hanya digunakan dalam upacara, ciri alat ini adalah bentuknya yang indah.

Peninggalan zaman logam yang ditemukan pada peti kubur batu di Kajar bersamaan dengan 35 kerangka manusia pendukungnnya berupa alat dari besi yang berbentuk arit dan cincin yang terbuat dari perunggu. Pada sebuah kerangka juga ditemukan tengah memegang pedang yang telah patah dengan tangan kirina. Pada peti kubur batu yang ditemukan di Bleberan, ditemukan tiga kerangka dengan bekal kubur berupa cincin tembaga, pisau dari besi dan manic-manik.

Zaman Megalitikum Gunung Kidul

Situs Sokoliman merupakan situs purbakala yang merupakan peninggalan masyarakat pada Jaman Pra Aksara khususnya masa Megalitikum. Oleh karena itu benda-benda yang ditemukan di situs ini yang paling banyak adalah terbuat dari batu seperti peti kubur batu, patung batu dan menhir. Selain itu juga ditemukan perhiasan/ manik-manik. Kondisi situs ini sangat terawat karena selain ada juru kuncinya juga disekelilingnya telah dipagar besi sehingga keamanan sangat terjaga. Dalam berbagai studi kepurbakalaan situs ini dapat dikatakan terlengkap di Gunungkidul sehingga banyak dipakai sebagai pusat studi lapangan baik pelajar maupun mahasiswa.

Situs Sokoliman ini menurut catatan Balai Arkeologi Yogyakarta termasuk salah satu Cagar Budaya Situs Megalitikum yang sporadis tersebar di kawasan Gunungkidul. Benar memang, wujud fisik situs ini hanyalah berupa kumpulan batu-batu yang saat ini sudah tertata rapi dan diberi kode identifikasi di atas tanah yang sudah diratakan dan diberi batas dengan concrete-blok.

Tercatat ada arkeolog Belanda bernama JL Moens yang melakukan riset pada tahun 1934 dan dilanjutkan oleh van Der Hoop pada tahun selanjutnya.[1] Informasi terakhir, Balai Arkeologi Yogyakarta dan Departemen Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya UGM juga pernah melakukan penelitian lanjutan di Situs Arkeologis Kawasan Sokoliman dan Kawasan Gunungbang sekitar 3 km di selatan situs ini. Di Gunungkidul, sebaran situs megalitikum memang mencakup beberapa lokasi yang tampaknya berpola tidak jauh-jauh berada di sepanjang aliran Kali Oya. Tercatat beberapa situs seperti di Gondang, Sokoliman, Gunungbang, Kajar, Wonobuda, dan Bleberan. Diluar DAS Oya memang terdapat pula situs megalitikum, seperti di Goa Braholo di daerah selatan Gunungkidul. Hasil riset yang dilakukan tahun 1934 tersebut menunjukkan bahwa situs-situs megalitikum termasuk Situs Sokoliman ini teridentifikasi sebagai kompleks kubur peti batu. Pada kubur peti batu di Kajar ditemukan 35 individu bertumpukan pada kedalaman 80cm dengan bekal kubur beberapa alat dari besi berupa arit. Temuan lain berupa cincin perunggu dan sebuah mangkok terakota (gerabah). Pada salah satu rangka malah ditemukan sebilah pedang besi yang telah patah yang dipegang tangan kiri, sementara pada pedang itu sendiri melekat bekas-bekas tenunan yang kasar. Kubur peti batu yang ditemukan di Bleberan berisi 3 individu yang bertumpukan dalam posisi telentang dengan kepala di sebelah utara. Tiga buah benda besi terletak di atas dada rangka yang paling atas, cincin tembaga, pisau besi, dan beberapa manik tersebar di antara rangka itu.

Situs Megalitik Sokoliman Terletak di Dusun Sokoliman Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo. Situs ini terbentuk pada periode prasejarah berupa menhir, fragmen menhir dan dinding kubur batu. Tahun 1934 Jl Moens dan Van der Hoop mengadakan penelitian di Situs Sokoliman dengan menemukan bekal kubur yang berbentuk manik-manik, alat-alat besi, fragmen gerabah dan benda-benda perunggu. Tahun 1989 BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Provinsi DIY melakukan pembenahan mengumpulkan menhir yang berserakan dan masyarakat sekitar menyebut peninggalan megalitikum ini dengan nama Kuburan Budho. Dalam masa megalitik menhir merupakan perwujudan tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia selain itu juga berfungsi sebagai medium pemujaan kepada roh nenek moyang. Budaya megalitik Sokoliman mempunyai keistimewaan terutama pada menhirnya, yaitu pada bagian atas dipahat raut muka manusia.



Sumber:

   1. BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi) DIY
   2. Catatan Balai Arkeologi Yogyakarta
   3. Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





[1] Sartono Kartodirdjo, dkk. Sejarah Nasional Indonesia I. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). 1975.

Zaman Neolitikum Gunung Kidul

Zaman neolithikum dimulai sekitar 12.000 tahun sebelum masehi. Periode ini membawa kebudayaan baru yang lebih maju daripada yang telah ada dahulu. Masyarakat pada zaman ini mengalami revolusi kebudayaan yang tinggi yaitu dari hidup nomaden menjadi sedenter. Mereka tinggal berkelompok dan membuat perkampungan-perkampungan dengan seorang kepala suku. Bukti kuat tentang keberadaan pemukinan masyarakat neolitikum baru ditemukan pada 4.000-2.000SM. periode ini ditandai dengan penyebaran masyarakat petani yang menetap tapi masih juga melakukan kegiatan berburu dan meramu. Mereka juga sudah mengenal sistem barter. Pembuatan alat-alat juga bukan hanya dibelah, tetapi sudah dipahat dan dibuat ukiran.

Zaman neolithikum di gunung kidul diperkirakan tidak lagi berpusat di peisir pantai, seperti zaman mesholithikum yang tinggal di goa-goa, tetapi sudah masuk ke daerah pedalaman. Pola migrasi ini tampak dari temuan fosil-fosil dari goa-goa yang semakin masuk ke pedalaman semakin muda dan beragam. Goa menjadi hunian manusia purba di Gunung Kidul selama 6.000 tahun, setelah itu mereka mulai bermigrasi kearah dataran rendah Gunung Kidul, yaitu daerah ledok wonosari dan ledok baturetno. Migrasi ke arah pedalaman ini membuat manusia purba tidak hanya mengkonsumsi kerang dan hewan-hewan laut, tetapi juga mengkonsumsi mamliah, seperti rusa dan sapi. Hal ini diperkuat dengan temuan Tim Arkeologi UGM pada ekskavasi tahun 2007.

Pada ekskavasi di Gua Braholo, kecamatan karangmojo Gunung Kidul, ditemukan 10kerangka manusia yang relative masih utuh. Disamping artefak tersebut terdapat batu serpih (flake) yang terbuat dari tulang serta mata anak panah yang terbuat dari batu. Berdasarkan cirinya kerang ini merupakan Janis ras autromelanosoid. Fosil ini diperkirakan berasal dari zaman neolithikum awal. Pada temuan peti kubur batu di sokoliman juga ditemukan fosil manusia ras Austronesia dan bekal kubur berupa manic-manik, pecahan gerabah dengan hiasanan tenun yang masih kasar. Manusia pendukung neolithikum sudah menganal pembuatan perhiasan, baik dari tanah liat mapun dari kulit kerang. Mereka juga telah mengenal budaya menenun. Benang tenun dibuat dari serat dedaunan, seperti daun gebang. Tenunan biasanya digunakan untuk menghias gerabah.

Manusia zaman neolithikum sudah mempunyai kepercayaan, yaitu animism dan totemisme. Kepercayaan totemisme, yaitu percayakan terhadap kesakralan bebrapa jenis binatang terlihat dari ditemukannya beberapa tulang binatang yang dijadikan sebagai bekal kubur, yaitu tulang babi, banteng dan rusa yang terdapat pada peti kubur di sokoliman. Animism merupakan percaya tentang keberadaan roh nenek moyang yang melindungi mereka. Sehingga pada zaman neolithikum manusia yang sudah meninggal dkuburkan dengan bekal kubur supaya mereka hidup tenang dan tidak marah dengan anak cucunya yang masih hidup.

Zaman Mesolitikum Gunung Kidul

Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)(Soekmono, 1996 : 46) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut(Poesponegoro, 1993 : 125). ). Tempat tinggal yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di Sumatera Timur (Poesponegoro, 1993 : 125).

Sejak 700 ribu tahun lalu Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, telah menjadi kompleks hunian manusia purba. Mereka tinggal di ceruk dan goa di wilayah perbukitan karst ketika mayoritas daerah lain di DIY masih tergenang air.Lokasi goa dan ceruk yang umumnya terletak di tengah ladang pertanian. Artefak tulang dan batu dengan mudah ditemui. Di perbatasan antara Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, seperti di Kecamatan Ponjong, ditemukan beberapa ceruk yang pernah dihuni manusia purba. Ceruk atau goa payung itu memiliki sirkulasi udara yang baik, memperoleh cahaya matahari, dan dekat dengan sumber air berupa telaga atau sungai bawah tanah.

Song Benter
Berada di mulut sebuah ceruk di Dusun Bentar, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, yang dinamai Song Bentar, keteduhan segera menelusup. Terik matahari tengah hari seperti diusir jauh oleh bayang-bayang ceruk. Stalaktit batu kapur putih mengilap bergelantungan di atap ceruk.

Song Bentar terletak di pucuk bukit karst. Hanya butuh lima menit berjalan kaki mendaki untuk mencapainya. Dari bawah bukit, ceruk itu terlihat seperti mulut naga yang menganga lebar. Pepohonan jati di depan ceruk menyamarkan bentuk utuh Song Bentar bila dilihat dari kaki bukit karst.

Menurut data Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala DIY, di Song Bentar terdapat fragmen tengkorak dan tulang manusia purba Homo sapiens. Setidaknya ada delapan individu, terdiri dari lima dewasa, dua anak-anak, dan satu bayi. Beberapa alat batu, seperti batu giling, beliung persegi, dan mata panah pun banyak dijumpai di lokasi ini. Ceruk di Song Bentar sebenarnya juga pernah ditambang, tetapi penambangan fosfat tersebut berhenti setelah kandungan fosfat menyusut.Keindahan ceruk dan goa prasejarah di Gunung Kidul ini memang terancam lenyap karena aktivitas pertambangan yang tidak terkendali. Apalagi goa dan ceruk prasejarah ini terletak di ladang milik penduduk setempat. Padahal, kehadiran ceruk dan goa dalam kealamiannya dapat memberikan gambaran kemampuan nenek moyang kita bertahan hidup dengan menyiasati alam.Kami juga mengunjungi Goa Seropan di Dusun Semuluh, Desa Gombang, Kecamatan Semanu. Goa dengan aliran sungai bawah tanah itu hanya bisa ditelusuri menggunakan senter dan belum pernah diteliti para arkeolog, tetapi juga kaya dengan tulang purba. Seperti di bebatuan tepian aliran sungai bawah tanah pada lorong lama yang kaya cetakan tulang purba, lorong baru ini pun menyingkap potongan tulang kaki, gigi, dan rusuk mamalia yang belum diketahui jenisnya karena belum pernah diteliti.

Zaman Paleolitikum Gunung Kidul

Zaman paleolitikum disebut zaman batu tua, karena alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Dilihat dari sudut mata pencahariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Makhluk hidup yang muncul selain manusia purba pada zaman paleolothikum yaitu mikroorganisme, ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang tidak bertulang punggung.

Ciri-ciri zaman paleolithikum:
1.    Penemuan fosil manusia purba
2.    Penemuan alat batu dan kapak genggam yang masih sangat kasar dan belum dihaluskan
3.    Penemuan alat dari tulang

Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan
tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu. Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180).

Bakat ini melekat semenjak kedatangan manusia pertama di Gunung Kidul, yaitu ras Australomelanesid yang bermigrasi dari Pegunungan Sewu di Pacitan (Jawa Timur) melewati lembah-lembah karst Wonogiri (Jawa Tengah) hingga mencapai pesisir pantai selatan Gunung Kidul melalui jalur Bengawan Solo purba. Diperkirakan ini berlangsung mulai akhir periode pleistosen.
 
Jalur Sungai Bengawan Solo purba yang telah mengering setelah mengalami tiga kali pengangkatan pada jutaan tahun sebelumnya menjadi jalur masuk menuju Gunung Kidul. Anak- anak sungainya sebagai jalur menuju ke goa-goa sebagai hunian baru di kawasan pedalaman.

Sejarah Terbentuknya Gunung Kidul

Gunung Kidul  awal mulanya adalah daerah perbukitan karst. Perbukitan karst yang berada di sebelah selatan, dahulu mengalami pengangkatan sehingga membentuk topografi yang lebih tinggi daripada sekitarnya. Begitu juga dengan di sebelah utara yang mengalami pengangkatan sehingga membentuk ledok yang mempunyai relief yang cekung seperti piring. Daerah di sebelah selatan umumnya berupa kerucut-kerucut karst. Di sebelah utaranya merupakan perbatasan atau peralihan antara perbukitan struktural Baturagung dan ledok Wonosari yang berpotensi menimbulkan longsor. Selain itu, proses geomorfologi di daerah ini berupa terjadinya kembang kerut tanah yang besar saat musim kemarau. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut merupakan peralihan antara daerah perbukitan karst dan daerah Ledok Wonosari di Gunung Kidul.

Kondisi topografi  ledok Wonosari itu sendiri seperti piring. Ledok ini dikelilingi oleh perbukitan. Perbukitan karst adalah perbukitan yang mendominasi daerah Wonosari, Gunung Kidul bagian selatan, sedangkan di tengah merupakan ledok atau basin, dan disebelah utara adalah perbukitan struktural. Di daerah Gunung Kidul, batuan yang mendominasi adalah lempung yang berasal dari pelapukan batu gamping dari perbukitan karst disebelah selatan.

Jenis tanah di ledok Wonosari adalah mediteran atau terarosa yang berwarna merah. Lapisan tanah yang terletak di Ledok relatif tebal dan subur. Tanah di daerah ini mempunyai kembang kerut yang besar karena berasal dari lempung monmolirolit. Kandungan gamping di tanah ini umumnya relatif tinggi. Hal itu dikarenakan tanahnya merupakan hasil dari pelapukan sedimentasi material aluvial dan kolluvial. Akan tetapi konservasi air dan tanah buruk, sehingga digunakan untuk pertanian musiman dan pertanian kering. Di daerah Gunung Kidul sumber airnya berasal dari rainfall atau air hujan sedangkan air tanahnya bersifat tawar. Flora yang dapat ditemui di sekitar titik ini adalah tanaman pertanian semusim, contohnya ketela pohon, kacang, pisang, dan lain-lain. Fauna yang banyak di daerah ini dalah serangga kecil, karean di titik ini merupakan areal pertanian semusim.

Gunung Kidul Selayang Pandang

1.GEOGRAFI 
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Wonosari terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta (Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), dengan jarak ± 39 km. Wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi 18 Kecamatan dan 144 desa.
Letak geografi : 110O 21′sampai 110O 50′ BUJUR TIMUR
                         7O 46′sampai 09′ LINTANG SELATAN
Batas Wilayah Kabupaten Gunungkidul:
Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman (Propinsi DIY).
Sebelah Utara : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah).
Sebelah Timur :Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah).
Sebelah Selatan : Samudera Hindia

2. PEMERINTAHAN 
Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan, 144 desa, 1416 dusun, 1583 RW, dan 6844 RT. Kecamatan yang ada di Gunungkidul antara lain : Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, KarangMojo, Wonosari, Playen, Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, dan Semin. Dari 144 desa, 141 desa masuk klasifikasi Swadaya dan 3 desa termasuk desa Swasembada. Sedangkan jumlah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) tahun 2007 adalah 144, dengan 95 LPMD klasifikasi tumbuh dan 49 LPMD termasuk klasifikasi berkembang.

3. POTENSI 
Kabupaten Gunung Kidul mempunyai beragam potensi perekonomian mulai dari pertanian, perikanan dan peternakan , hutan, flora dan fauna, industri, tambang serta potensi pariwisata. Pertanian yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul sebagian besar adalah lahan kering tadah hujan (± 90 %) yang tergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Lahan sawah beririgasi relatif sempit dan sebagian besar sawah tadah hujan. Sumberdaya alam tambang yang termasuk golongan C berupa : batu kapur, batu apung, kalsit, zeolit, bentonit, tras, kaolin dan pasir kuarsa.

Kabupaten Gunungkidul juga mempunyai panjang pantai yang cukup luas terletak di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, membentang sepanjang sekitar 65 Km dari Kecamatan Purwosari sampai Kecamatan Girisubo. Potensi hasil laut dan wisata sangat besar dan terbuka untuk dikembangkan. Potensi lainnya adalah industri kerajinan, makanan, pengolahan hasil pertanian yang semuanya sangat potensial untuk dikembangkan.

4. SOSIAL BUDAYA 
Pada tahun 2007 di Kabupaten Gunungkidul hanya terdapat 1 RSU Pemerintah, 1 RS swasta dan 140 puskesmas. Dari 140 Puskesmas dapat dikategorikan 13 Puskesmas Perawatan, 16 Puskesmas Non Perawatan dan 111 Puskesmas Pembantu. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan porgram KB jumlah akseptor aktif di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 mencapai 107.307 orang. Pada umumnya aksektor tersebut memilih menggunakan alat kontrasepsi suntik, IUD dan pil, masing-masing 45.298, 25.262 dan 20.291 orang atau ketiga kontrasepsi tersebut dipilih oleh sekitar 84,66 % dari seluruh akseptor aktif.

Untuk sektor budaya, Kondisi kehidupan dan aktivitas budaya dan kesenian di Kabupaten Gunungkidul secara umum masih berjalan baik, terlihat dari upaya dan kegiatan masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya dan kesenian yang ada. Bahkan juga tampak adanya upaya untuk menggali kembali budaya dan kesenian yang hampir punah, serta upaya kaderisasi kepada generasi muda

Perkembangan pembangunan di bidang spiritual dapat dilihat dari banyaknya sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan umat Islam, Kristen, Kholik, Hindu dan Budha masing-masing 2.541 unit, 96 unit, 28 unit, 14 unit dan 8 unit. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama, pada tahun 2007 di Kabupaten Gunungkidul tercatat 732.701umat Islam, 12.795 umat Kristen, 10.142 umat Katholik, 2.776 umat Hindu, dan 626 umat Budha.

5. PENDAPATAN REGIONAL 
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Gunungkidul atas dasar harga berlaku tahun 2007 sebesar 4.872.123 juta rupiah dengan kontribusi terbesar diberikan oleh sektor pertanian yaitu sebesar 34,03% kemudian disusul sektor jasa-jasa dengan sumbangan sebesar 18,25 %.

PDRB Kabupaten Gunungkidul atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2007 sebesar 2.941.288 juta rupiah atau naik sekitar 110.705 juta rupiah. Sedangkan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 penduduk Kabupaten Gunungkidul pad atahun 2007 sebesar 4.292.535 rupiah. Dan PDRB per kapitas atas dasar harga berlaku penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 sebesar 7.110.408 rupiah.

6.KEPENDUDUKAN 
Penduduk Kabupaten Gunungkidul berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk 2000 dan Sensus Penduduk Antar Sensus 2005 tahun 2007 berjumlah 685.210 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa, dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 75.517 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki, yaitu 349.799 perempuan dan 335.411 laki-laki.

Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten Gunungkidul bekerja sebagai pekerja keluarga sekitar 36,56% dari jumlah penduduk yang bekerja. Sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap, masih sangat sedikit yaitu sekitar 0,80 %.

Untuk penduduk berdasarkan usia tahun 2007 sesuai dengan proyeksi SP 2000 – SUPAS2005 & Proporsi Susesnas 2006 adalah sebagai berikut Usia 0-4 Tahun (balita) sebanyak 41.935 orang, 5-9 Tahun sebanyak 46.041 orang , Usia 10-14Tahun adalah sebanyak 53.143 Jiwa sedangkan usia 15-19Tahun sebanyak 49.730 jiwa, usia 20-24 tahun sebanyak 32.508 Jiwa, usia 25-29 sebanyak 40.984 jiiwa, usia 30-34 sebanyak 46.246 jiwa, usia 35-39 sebanyak 52.502 jiwa, usia 40-44 yaitu 49.255 jiwa, 44.398 jiwa usia 45-49, 44.409 jiwa usia 50-54 tahun, dan 44.984 jiwa berusia 55-59 tahun, sedangkan usia 60+ sebanyak 139.075 jiwa.